Kamis, 04 November 2010

INTEGRATED COMMUNICATION

DIANTARA SENI MURNI & SENI TERAPAN

Semua yang saya hasilkan sebagai 'karya', sebenarnya adalah sebuah ensembel dari apa yang saya sukai dan lakukan sehari-hari. Bahkan selama bertahun-tahun menjadi sumber nafkah saya, yaitu musik, teater, lukis dan patung. Proses yang berbasis pada tata rupa, ruang, bunyi dan gerak itu ternyata mendorong untuk menghasil kan irama yang 'laras'.
Semua unsur itu telah menjadi kajian keilmuan dengan pengakuan secara formal, tapi bagi saya ilmu yang sesungguhnya adalah masalah-masalah yang muncul pada saat karya itu kita wujudkan, dari waktu ke waktu terus menuntut kita untuk menganalisa dan mencari jalan keluar hingga apapun karya itu, menjadi representasi yang komprehensif, kuat dan dewasa.


Dalam kurun waktu 30 tahun lebih, saya mencoba membagi aktifitas kesenirupaan saya menjadi; SENI MURNI,SENI TERAPAN, SENI KERAJINAN atau KRIYA, KEGIATAN MULTI MEDIA yang pada akhirnya menghasilkan sebuah produk jasa terpadu yang saya sebut sebagai INTEGRATED COMMUNICATION. Yaitu kegiatan kesenian murni, multi media, periklanan, rancang grafis, panggung, televisi dan film.



PENGHARGAAN YANG SESUNGGUHNYA


Saya berusaha menggambar tokoh BIMA sebaik-baiknya ketika berusia 4 tahun. Masih hangat dalam ingatan saya, kakek memuji-muji gambar itu kepada setiap teman yang bertandang kerumahnya kendati tangan tokoh pandawa itu masih kelebihan jari di kedua tangannya.


Setelah itu rasanya saya tak pernah lagi mendapatkan penghargaan yang sesungguhnya, sekalipun dua kali saya memperoleh Citra Pariwara di dunia periklanan (1986-1987), pelukis dengan sarana digital terbaik untuk mendapatkan bea siswa ke Belgia (1990), mendapat penghargaan sebagai perancang terbaik kerajinan khas Betawi (2004) dan sejumlah piala atas aktifitas saya di perfilman, rasanya belum mampu menggantikan kebanggaan saya akan pujian yang ikhlas dari kakek saya itu.

Penghargaan di masa kini tidak lagi pada sebuah piala, yang keberadaanya hanya menjadi sesuatu yang tidak memberi rasa nyaman dalam sebuah bilik sempit rumah kontrakan yang pengab. 
Penghargaan itu bukan lagi tempik sorak, ditengah kehidupan yang mendera ketika pilihan profesi jatuh pada sebuah jalur yang tidak populer, tidak menjual dan tidak serta merta dapat menghasilkan nilai tukar yang sepadan. 
Terlalu lama para pekerja kesenian selalu medapat reward yang absurd ditengah realitas yang menghimpit.

Ingatan saya terus larut dalam kepuasan dipuji seorang kakek yang mencintai saya dengan tulus. Menurunkan segala ilmu dan keyakinannya tentang 'hidup' kepada saya, agar bisa tegap mengarungi kehidupan. Agar saya tak membutuhkan pujian lagi, tepuk tangan dan 'suit-suit' lagi. Kita terima dengan lapang, apapun yang kita terima atas apa yang telah kita perbuat, apa adanya. Saatnya kini, saya akan memberikan penghargaan kepada kakek saya itu, yang telah menurunkan bakat menggambarnya kepada saya. Sebuah kajian tentang rupa wayang purwa 1200 halaman.


Sebuah penghargaan untuk kakekku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar